Senin, 04 November 2013



Di luar sangat menakutkan. Angin bertiup kencang. Berdiri bulu romaku melihat pepohonan terpontang panting tumbang di dekat rumah. Kucoba mengalihkan perhatian, mengambil headset kemudian memutar musik sekeras-kerasnya.
Suara gemuruh angin membuatku takut. Wah… wah… wah… tak bisa kubayangkan betapa takutnya aku jika hari ini kiamat terjadi.
Tak lama angin bertiup kencang. Akhirnya rintik hujan berlomba turun menghujam bumi. Leganya melihat air yang jatuh dari langit itu. Degupan di dadaku berhenti.
Kejadian ini membuatku merenung untuk memperbaiki diri dari kesalahan dan mulai perbanyak amal kebaikanku. Siapa tau kiamat datang tiba-tiba, dan aku tidak punya banyak bekal menghadapinya.
Semalaman sulit rasanya memejamkan mata. Hatiku menjerit seolah memintaku bertobat.
Tobat… tobat… tobat…
Jeritan ini semakin mendesakku.
Tak terasa sekarang sampai pada sepertiga malam. Aku keluar dan bersegera wudhu. Sepertinya aku benar-benar akan taubat.
Kuangkat kedua tanganku beriringan dengan takbir ‘Allahu Akbar’ dan mulailah aku pada rakaat pertama.
Hatiku merasa lebih tenang ketika dahi menyentuh lantai yang beralaskan sajadah berwarna hijau tua. Aku merasa nyaman dengan posisi sujud ini. Aku merasa seperti berada di padang gurun, yang berhias bunga-bunga indah. Kuhanyut pada indahnya bunga-bunga yang sedang bermekaran disana. Di tengah indah yang kurasa, tiba-tiba badanku bergoncang. Aku mendengar suara seseorang memanggil.
“Astagfirullah… Rahman! Sholat kok bisa sampai ketiduran,” ujar lelaki paruh baya itu menegur kecerobohanku, tertidur saat sholat.
“Ayo… bangun!” paksanya menggoncang tubuhku.
Lelaki paruh baya itu tak lain adalah ayahku.
Ayah adalah salah satu tokoh masyarakat yang dihormati di tempat tinggalku. Beliau sebagai pemuka agama yang terkenal dermawan. Petuah-petuah yang disampaikannya adalah hal yang di nantikan masyarakat disana.
“Rahman terbawa suasana Yah.”
Ini yang jadi masalah dalam hidupku, setiap kali berniat untuk taubat ada saja penghalangnya. Kalau begini terus, akan sangat tak mungkin bisa melakukan taubat secara total. Belum lagi ditambah dengan godaan yang datang dari para gadis yang dekat denganku. Semakin pesimis rasanya untuk melakukan itu.
Malam pun kini menjelma menjadi pagi hari yang indah. Sinar mentari menyambutku hangat. Kicau burung menyapaku mesra. Senang rasanya pagi seperti ini bisa melihat anak kecil berlarian di depan rumah. Aku hanya menyaksikan mereka dari balik jendela kamar.
Pelan-pelan tirai jendela kubuka.
Sebenarnya aku tak sengaja, tapi perempuan itu cantiknya luar biasa. Mendadak, serasa enggan mengalih pandangan darinya. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Dan entah bagaimana Ayah sudah berdiri di belakangku.
“Zinanya mata adalah melihat sesuatu, zinanya lisan adalah mengucapkan sesuatu, zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan sesuatu, sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu semua. Ini hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,” lagi-lagi lelaki paruh baya ini menasehatiku, membuatku kehilangan kesempatan berharga pagi ini.
Kutolehkan kepala kearah Ayah. Tak enak rasanya bicara dengan orangtua tanpa melihatnya. “Maksud Ayah?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Ayah melihat, kamu sedang memandang Husna. Kamu sedang menikmati kecantikan yang ada padanya,” jawabnya, “Tidak pantas kamu seperti itu. Kamu sedang berusaha memaksa dirimu untuk mendekat pada zina. Istigfar Abdurrahman! Segeralah menikah jika kamu sudah merasa sanggup,” lanjutnya memakiku.
Sebenarnya Ayah tidak pernah memaksaku untuk segera menikah, tapi aku selalu merasa Ayah selalu saja mendesakku untuk segera menikah. Sama sekali tidak terpikir olehku untuk melakukannya. Apalagi saat ini aku hanya seorang pengangguran. Bagaimana bisa aku menikah tanpa memberikan nafkah pada keluargaku nanti.
Harusnya aku bersyukur mempunyai Ayah sepertinya. Selalu hadir dengan nasehat-nasehat yang akan menyelamatkanku dari kesesatan. Tapi mengapa sesulit ini aku menerima nasehat-nasehat darinya?
Seolah aku ingin berontak atas kepeduliannya padaku. Sepertinya aku lebih suka hidup bebas daripada harus terkekang bersamanya. Andai Ibu masih ada mungkin hidupku jauh lebih nyaman. Hanya Ibu yang bisa mengerti aku dan pola hidupku yang semberaut ini.
Singkat cerita,
Makin lama makin menjadi-jadi kelakuan burukku. Sulit rasanya mengendalikan diri dari hawa nafsu. Aku tergiur akan mega dunia. Lupa pada kewajibanku sebagai seorang muslim. Pantas jika Ayah membenciku. Aku hanya jadi aib baginya.
Ingin sekali kuterlepas dari kegelapan ini, tapi sulit sekali bagiku. Aku terlanjur mencintai dunia. Noda hitam menyelimuti hampir semua bagian di hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa mensucikannya kembali dari noda itu?
Makin ke depan hidupku makin tak berarah. Ayah sepertinya sudah bosan menasehatiku. Dia tak peduli lagi dengan apa yang kulakukan. Untunglah Ayah masih mengizinkan aku tinggal di rumah.
Tepat pukul 16.00.
Awan hitam pekat hadir menghias langit. Burung-burung tak ada yang berlalu lalang lagi di sekitar rumahku. Di luar senyap sekali tidak ada aktivitas. Kenapa sore ini tak sebising biasanya? gumamku. Pelan-pelan aku mengintip ke langit dari balik tirai kamar. Aku khawatir akan terjadi suatu hal yang membuat nyawaku melayang. Ritme jantungku mulai tak berirama.
Ditambah dengan suara petir yang menggelagar di angkasa. Semakin luar biasa ketakutanku sore ini, terhenti rasanya nafasku sekarang.
Kucoba untuk tenang, berusaha mengalihkan perhatian dari kondisi alam yang kurang baik hari ini. Pelan-pelan kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Kupejamkan mata agar lebih santai menghadapinya.
Tak berapa lama, aku merasa terbang ke suatu tempat. Ketempat yang gelap sekali. Disana banyak binatang buas yang sudah menghadang. Dahiku mulai berkucuran keringat.
Sejenak kucoba mengingat, barang kali aku mengenal tempat ini. Tapi, aku merasa asing. Sepertinya aku memang tak pernah kemari sebelumnya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Luar biasa takutnya aku. Tubuhku lemas rasanya. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Kupejamkan mataku agar tak melihat sosok yang menepuk pundakku itu.
Dia memintaku membuka mata dan berbalik ke arahnya. Awalnya kucoba menolak dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tapi dia memintanya lagi. Pelan-pelan kuberanikan diri untuk melakukan perintahnya. Tu wa ga, srettt! Aku berbalik ke arahnya. Allahu Akbar… teriakku kaget. Ternyata orang itu adalah Ibuku. Spontan aku langsung ingin memeluknya, aku sangat merindukannya, benar-benar sangat rindu padanya. Tapi dia menghindar. Dia tidak ingin kusentuh. Hancur rasa hatiku melihat Ibu seperti itu.
Kenapa Ibu tidak ingin kupeluk? Apa Ibu tidak rindu padaku? tanyaku. Dia hanya diam menatap tajam kornea mataku. Tak bisa kututupi kesedihan yang kurasakan, mendadak airmataku berjatuhan.
Kemudian Ibu bergerak, mendekat padaku. “Kamu kotor sekali, Nak! Ibu tak ingin tersentuh olehmu. Semua orang akan berkata sama seperti yang Ibu katakan. Semua orang akan menghindar darimu jika kamu tidak segera membersihkan diri dari kekotoran dan noda-noda hitam yang menempel pada tubuh dan hatimu,” ujarnya berbisik padaku, “malu pada Allah. Malu karena kamu tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan-Nya padamu. Tak lama lagi Ibu akan menjemput Ayah,” lanjutnya kemudian menghilang.
Tak lama Ibu pergi, tubuhku terasa ringan. Sekarang, aku terbang kembali.
Tempat selanjutnya jauh lebih baik. Disana ada cahaya terang, membuat penglihatanku sedikit lebih nyaman. Tapi cahaya itu makin lama makin menyilaukan mata. Sakit sekali mataku melihatnya. Kemudian secara tiba-tiba cahayanya redup kembali.
Pelan-pelan kedua mataku mulai terbuka. Penglihatanku buram, mungkin efek dari cahaya yang sangat terang tadi.
Setelah penglihatanku pulih, barulah kusadari barusan hanyalah mimpi. Tapi suara Ibu masih terngiang di telingaku. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan Ayah sekarang.
Ibu bilang sebentar lagi akan menjemputnya. Seandainya yang Ibu katakan benar terjadi. Aku akan kehilangan Ayah, hidup sebatang kara tanpa tau apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Ditemani hujan. Aku menangis, mengkhawatirkan Ayah, dan menangis mengkhawatirkan jalan hidupku yang salah ini.
Sudah 3 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengan Husna. Perempuan cantik yang kutemukan tak sengaja dari balik jendela.
Dia perempuan yang sangat kucintai.
Harusnya di usiaku yang ke-24 ini, aku menikahinya. Tapi, Ayah tak pernah merestui hubungan kami. Ayah menilai Husna hanya membawa pengaruh buruk dalam hidupku. Sehingga Ayah tak pernah menggubris keinginanku untuk menikahinya.
Pernah terlintas di benakku mengajak Husna kawin lari. Tapi, buru-buru kulupakan hal bodoh itu. Jika kulakukan sama saja dengan membunuh Ayah.
“Rahman!!!”
Tok…tok…tok…
Ayah memanggil sambil menggedor pintu kamarku. Berulang kali Ayah melakukannya, mengganggu sekali. Malas rasanya membuka mata sepagi ini.
“Iya… iya,” sahutku.
Aku keluar dari kamar dengan rupa acak-acakkan. Samar-samar kulihat dari kejauhan seorang perempuan duduk di ruangan tamu bersama lelaki tua di sampingnya.
“Man… kemari sebentar!” pinta Ayah memanggilku.
“Iya!” sahutku cemberut.
Kemudian aku duduk di samping Ayah. Perempuan itu asing di mataku. Kupikir dia adalah calon istri Ayah. Ternyata prediksiku salah total, perempuan itu adalah orang yang akan dijodohkan denganku.
Seakan tersengat listrik bertegangan tinggi. Sesak rasanya dadaku mendengar perjodohan ini.
Tak mungkin aku bisa menyukainya, pikirku. Hanya Husna yang bisa memenangkan hatiku, dia adalah satu-satunya perempuan yang kucinta.
Dengan tegas kutolak permintaan Ayah yang egois ini. Tapi, Ayah tetap saja bersikeras dengan keinginannya, untuk menikahkanku dengan perempuan itu. Sempat terjadi perdebatan sengit di antara kami. Tiba-tiba aku teringat akan pesan yang ibu sampaikan dalam mimpiku. Akhirnya aku mengalah pada Ayah dan meng-iyakan keinginannya, meskipun sebenarnya itu bertentangan dengan hatiku.
Mati aku jika Husna mendengar berita buruk ini. Dia pasti akan meninggalkanku pergi. Aku tak mau hal ini terjadi. Buru-buru kupersiapkan sandiwara agar berita buruk ini tak mengagetkan kekasihku, Husna.
Hampir setiap hari kuhabiskan waktu bersama Husna, dengan berhiaskan canda dan tawa. Mana mungkin ada kesempatan untuk Meisandy masuk ke hatiku.
Setahun berlalu
Semenjak Ibu hadir dalam mimpiku. Pelan-pelan aku mulai memperbaiki diri. Sedikit demi sedikit hatiku mulai bersih dari noda-noda hitam yang melekat. Belakangan ini aku jatuh cinta pada ayah. Dan ayah juga sama sepertiku. Ayah membalas cintaku dengan memperlakukanku seperti seorang anak pada umumnya.
Mata hatiku mulai terbuka untuk menerima nasehat darinya. Pelan-pelan terjawab sudah keraguanku. Ternyata, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Hanya saja masih ada beberapa hal yang tak bisa kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Sebenarnya, aku menyadari kehadiraan Husna benar-benar membawa pengaruh buruk padaku. Tapi aku tak bisa pergi begitu saja darinya. Perlu alasan yang sangat, sangat kuat untuk membuatku pergi meninggalkannya.
Sore ini Meisandy berkunjung ke rumah, ini kali pertama dia menemuiku. Dia datang sendirian, membawa buah tangan untukku. Tak ada yang menarik darinya. Tak ada juga yang bisa dinilai darinya. Perempuan ini biasa saja. Dari caranya berpakaian sampai dengan cara bicaranya.
Aku heran, Ayah kok bisa-bisanya kepikiran menjodohkanku dengan Meisandy.
Semakin kedepan semakin jelas terlihat perhatian Meisandy padaku. Dengan karakter dan pembawaan khas yang dia miliki. Kini Meisandy hadir menghiasi hari-hariku. Tapi tetap saja aku tak bisa memperhitungkan kehadirannya dalam hidupku. karena tak ada sedikit pun celah, di bagian hatiku yang bisa terisi oleh orang lain selain Husna, kekasihku.
Malam ini ayah menjamu Meisandy makan malam di rumah. Malas rasanya ikut makan bersama mereka. Pasti akan sangat membosankan, duduk bersama orang-orang pasif seperti mereka.
Aku adalah orang pertama yang nongkrong di meja makan. Semakin cepat datang maka akan semakin cepat juga aku meninggalkan mereka, pikirku picik. Setengah jam sudah aku menunggu di meja makan. Meisandy belum juga muncul. Muak sekali jika harus menunggu orang seperti dia selama itu.
“Assalamualaikum.”
Akhirnya datang juga. Aku sudah menyiapkan diri untuk menyantap hidangan yang ada di depan mata. Sendok dan garpu tinggal lepas landas menuju piring. Aku sudah tak sabar untuk segera makan.
“Assalamualaikum.”
Sekali lagi, dia mengucapkan salam di depan rumah. Malas rasanya keluar menyambut kedatangannya. Untung Ayah mau bersusah payah menjemputnya diluar.
“Maaf… membuat menunggu,” ujarnya.
Dia terlalu basa-basi hanya untuk sekedar makan malam. Hampir aku memarahinya karena mengulur-ngulur waktu. Apalagi aku sudah kelaparan seperti ini.
“Cepat duduk,” pintaku sinis.
“Maaf ya.”
Jengkel sekali mendengar basa-basi yang diucapnya. Bukannya segera duduk, Dia tetap saja berdiri di belakangku. Kalau tak kupaksa orang ini hanya membuang-buang waktu saja, gumamku. Akhirnya, aku berdiri dari tempat dudukku dan menoleh kearahnya. Seeettt! Mendadak lidahku jadi kelu. Aku tak percaya Maisandy secantik ini.
Damai hatiku melihat wajah yang penuh kesejukan itu. Sempurna penglihatanku pada Maisandy yang mengenakan jilbab hijau tua warna kesukaanku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi tentangnya malam ini. Aku khawatir posisi Husna di hatiku terancam tergeser kedudukannya.
“Mari kita mulai makan malamnya.” ajakku.
Tiba-tiba aku menjadi sosok yang hangat untuk Meisandy malam ini.
“Rahman! Bagaimana? Apa kamu sudah siap untuk menikahi Meisandy?” tanya Ayah mengawali obrolan. Aku tak bisa memutuskan secepat mungkin tentang pernikahan ini. Tidak ada basa-basi sama sekali Ayah menanyakan hal ini, membuat hilang selera makan saja.
“Beri Rahman waktu untuk memikirkan hal ini, Yah!” terangku padanya.
“Apalagi yang kamu pikirkan? Menafkahinya? Masalah itu jangan dipikirkan, nanti Ayah siapkan usaha untuk kalian kelola bersama. Apa lagi yang membuatmu keberatan?”
“Beri Rahman kesempatan untuk meyakinkan diri, Yah! Jangan mendesak seperti ini.”
“Sampai kapan kamu akan memikirkan ini? Sampai kamu tua bangka? Iya?” ujarnya marah.
“Sampai Rahman menemukan alasan untuk mencintai Meisandy, baru Rahman akan menikahinya,” cetusku tegas.
Makan malam tiba-tiba menjadi hening. Tak enak rasanya, makan dengan keadaan emosi seperti ini. Kasian Meisandy, hanya tertunduk bisu, mendengar kami berdebat.
Sekarang aku telah sampai pada saat dimana aku harus memilih. Ini sangat berat bagiku. Meisandy bukan perempuan yang ku mau tapi ayah menginginkannya mendampingiku. Andai aku diizinkan, tentu kujatuhkan pilihan pada Husna.
Waktu terus berjalan. Tak terasa usiaku kini makin tua saja.
Aku yang sekarang tak seburuk dulu lagi. Keinginan untuk berubah kini terwujud. Tapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang tak bisa kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Kini, makin menggebu-gebu kurasa perhatian Meisandy padaku. Dia selalu datang menemaniku. Sekarang tak banyak waktu yang bisa kuhabiskan bersama Husna.
Ruang gerakku mulai terbatas, Ayah selalu mengawasi pergerakanku untuk bertemu Husna. Tapi, aku tak sebodoh yang ayah kira. Diam-diam aku mencuri-curi kesempatan menemui Husna.
Saat ini, berbohong rasanya kalau aku bilang tak suka pada Meisandy. Pelan-pelan perempuan itu menyelinap masuk dalam hatiku. Kurasa tak lama lagi aku menemukan alasan mengapa harus menikahinya.
“Rahman!”
Suara itu dekat sekali di telingaku. Ini bukan suara Ayah. Siapa pemilik suara ini? pikirku bertanya-tanya. Tapi malas sekali rasanya membuka mata sekarang.
Suara itu terdengar berulang-ulang di telingaku. Oke.. oke aku akan memaksa mataku agar terbuka. Wah wah wah… pagi sekali mata ini sudah disuguhi keindahan seperti ini, gumamku. Meisandy tampil cantik pagi ini. Sekarang ayah benar-benar mengizinkannya melakukan apapun padaku.
“Assalamualaikum.”
Aku suka melihat senyumnya pagi ini.
“Waalaikumsalam.”
“Ini sarapan buat Rahman. Mei sendiri yang memasaknya.”
“Mei gak sarapan?” tanyaku.
“Mei masak cuma satu porsi. Jadi Rahman saja yang makan.”
“Wah… gak adil ini namanya. Ya sudah kita bagi dua makanannya. Sini aku suapin.”
“boleh?” tanyanya polos malu-malu.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Aku suka sekali mendengar suaranya. Ada khas tersendiri dari suara perempuan yang satu ini.
“Masuk kamarku aja kamu dikasih izin sama Ayah. Apalagi cuman suap-suapan doang. Pasti bolehlah!” jawabku sambil menertawakan keluguannya. Seharusnya aku tak semudah ini takluk dan membagi cintaku. Tak bisa kubayangkan hancurnya Husna andai tau apa yang sedang kulakukan di belakangnya.
Setengah tahun berlalu
“Harusnya, aku tak lagi menemuimu sekarang! Setelah perjodohanku dengan perempuan lain. Harusnya, saat ini aku meninggalkanmu, tanpa harus menemuimu lagi. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku terlalu menyayangimu, aku benar-benar tak bisa meninggalkanmu.”
Sulit bagiku memikirkan ini sendirian. Akhirnya, aku mengakui tentang perjodohanku pada Husna. Kusampaikan semua kebenarannya dengan jujur. Husna hanya diam, belum menunjukan reaksi apapun mendengar pengakuanku.
“Aku tidak bisa berhenti!!! Aku benar-benar tidak bisa menghentikan ini. Aku tak ingin kehilanganmu. Perasaan ini tulus sekali. Tentang cintaku padamu, aku benar-benar tidak bisa menghentikannya,” ujarku lagi.
Husna membisu tanpa ekspresi apalagi reaksi. Aku khawatir dia sudah tak mencintaiku lagi. Sebab sebelum aku mengatakan ini, kami sudah jarang bertemu.
Ternyata salah kalau kupikir Husna tidak mencintaiku lagi. Mendadak airmatanya menetes. “Aku akan bersedih melihatmu menangis. Aku terluka melihatmu tersakiti. Tapi, aku akan sangat bahagia bila melihatmu juga bahagia,” sahutnya sambil menatap tajam mataku, “Bila kamu tak bisa berhenti mencintaiku, maka aku yang akan melakukannya untukmu!!! Aku akan menghentikannya, aku akan membuatmu tak mencintaiku lagi, aku akan melakukannya untukmu,” lanjutnya lagi.
Seperti tersambar petir rmendengar Husna bicara seperti itu. Hancur berkeping-keping hatiku. Tak ada yang bisa menggambarkan betapa sedih hatiku jika harus kehilangannya. Sebisa mungkin aku mengatur emosiku, menahan airmata yang sebentar lagi akan menetes. Mataku benar-benar seperti sedang kena asap. Akan sangat memalukan bila menangis di hadapan Husna.
“Diam-diam aku sudah putus asa, diam-diam aku menyerah dengan perasaanku. Aku merasa kehilangan, jauh sebelum mendengar pengakuanmu. Aku sudah terbiasa tanpa kamu ada di sisiku. Semenjak kita jarang bertemu, aku sudah membiasakan diri tanpamu. Bertahun-tahun kita bersama, dan hari ini adalah hari dimana aku tak bisa lagi menemanimu. Setelah ini, Saat aku menghilang. Tolong jangan pernah mencari atau pun memikirkanku lagi,” lanjutnya.
Binar di mataku mulai mengganggu, penglihatanku menjadi agak kabur. Airmata seperti sedang berdesakan ingin keluar dari mataku. Runtuh rasanya langit mendengar Husna bicara seperti itu. Ini kali pertama dalam hidupku dibuat kecewa olehnya.
Aku bersikeras memintanya untuk tidak menyerah mencintaiku. Tapi, dia juga bersikeras memintaku berhenti mencintainya.
“Semudah ini kah aku akan kehilanganmu? Semudah ini kah aku akan melepaskanmu? Haruskah aku menyerah sekarang?” tanyaku dengan nada yang sedikit meninggi, “Tidak… aku tak akan melakukannya. Kamu bohong! Semua yang kamu katakan itu tidak seperti yang kamu rasakan! Aku tau kamu tak akan pernah berhenti mencintaiku!” ujarku coba memastikan.
Husna hanya diam.
Bukan itu reaksi yang kuharap darinya. Kupikir dia akan menghampiri dan memelukku, setelah mendengar apa yang kukatakan tadi. Ternyata tidak, dia berbalik dan meninggalkanku pergi tanpa sepatah kata pun terucap. Akhirnya, airmataku yang dari tadi sudah berdesakan satu per satu keluar dari mataku.
Pantas, Husna meninggalkanku pergi. Ternyata dari tadi Meisandy sudah berdiri di belakangku dengan airmatanya.
Awalnya Meisandy memberiku kesempatan menjelaskan pertemuan antara aku dan Husna. Tapi aku tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa padanya. karena ini memang salahku sepenuhnya. Yang tidak memberitahukan padanya kalau aku pergi menemui Husna.
Sekarang aku benar-benar terlibat dalam cinta segitiga yang dramatis. Husna dan Meisandy sudah merenggut kebahagiaanku. Mereka harus bertanggung jawab untuk mengembalikannya lagi padaku.
Malam hari tepat pukul 19.00.
“Rahman…”
Ayah memanggilku. Sepertinya ada sesuatu yang serius ingin dibicarakannya. Buru-buru aku mendekat.
“Duduk sebentar, Nak! Jadi bagaimana? Kamu sudah siap?”
Aku tidak fokus dengan yang Ayah katakan.
“Bagaimana?”
Dia bertanya kembali padaku. Sepertinya kali ini Ayah akan memaksaku mati-matian untuk menikahi Meisandy.
“Baik! Rahman akan segera menikahi Meisandy,” tegasku.
“Alhamdulillah,” ucapnya kemudian menghampiri dan memelukku.
Hanya itu yang bisa kukatakan sekarang. Tidak ada lagi alasan untuk menolak perjodohan ini setelah Husna meninggalkanku pergi.
Dua hari lagi aku akan menjadi seorang suami untuk Meisandy. Antara siap dan tidak rasanya.
Langit mulai gelap. Matahari mulai menenggelamkan dirinya. Berganti sudah pemandangan di langit. Sekarang waktunya bulan dan bintang yang menghiasinya. Ditemani rintik hujan, Meisandy datang ke rumah sekedar mengajakku ngobrol sambil menikmati secangkir teh manis.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Kutolehkan kepala ke arahnya. “Ada apa dengan perasaanku?” aku balik bertanya padanya.
“Apa perempuan yang kamu temui kemarin masih ada disana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kepalaku dengan ciri khas polos yang dimilikinya.
“Tidak… dia tidak ada disini,” jawabku sambil menunjuk kepala, “Tapi dia ada disini,” lanjutku sambil menaruh tangan di dada.
“Oh…!!! Berarti aku lah orang yang ada di kepalamu sekarang, di dalam pikiranmu, disana,” dia kembali menunjuk ke arah kepalaku, “Mungkin kehadiranku ini hanya menjadi beban di hidupmu. Maaf… karena aku membuatmu lebih sering berpikir sekarang. Aku benar-benar minta maaf,” ucapnya lirih.
“Aku tidak pernah menyesali takdirku. Aku tidak pernah berpikir untuk menyalahkanmu. Ini takdir yang Tuhan berikan padaku. Apa pantas aku menolak pemberian ini?” sahutku padanya.
Meisandy hanya terdiam, matanya tak berhenti mencuri-curi pandang padaku. Aku mengerti apa yang dirasakannya saat ini. Aku memahami apa yang dikhawatirkannya saat ini. Seharusnya aku berterimakasih padanya, karena selama ini dia tidak pernah memaksaku untuk mencintainya. “Jangan pernah khawatirkan kebahagiaanku. Saat ini aku baik-baik saja. Jangan pernah berpikir aku akan menyalahkanmu,” ujarku lagi.
“Suatu saat, jika kamu menyesal menikah denganku. Silahkan saja kamu marahi aku, caci maki aku, lakukan apapun yang kamu mau. Tapi aku mohon! Aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku.”
Mendadak otakku berhenti berpikir. Tak percaya rasanya mendengar Meisandy mengatakan itu padaku.
“Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap hari-harimu. Bagaimana mungkin aku akan bertahan bila kamu meninggalkanku. Lakukanlah apapun yang kamu inginkan. Selama kamu di sisiku, aku baik-baik saja,” lanjutnya kemudian berdiri dan meninggalkanku.
“Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap hari-harimu. Bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu sendirian.” sahutku bicara sendiri.
Hari ini adalah hari terakhir aku berstatus bujangan. Lusa, akan menjadi moment terpenting dalam hidupku. Awal dari kisah hidup baruku dengan keluarga baru.
Saat ini semua orang sepertinya bahagia. Tapi tidak denganku. Aku harus berjuang agar terlepas dari hatiku yang terbalut luka. Luka lama yang tiba-tiba saja datang menyapaku.
Kenangan manisku bersama Husna tiba-tiba saja menari indah di ingatanku. Sulit sekali melupakan perempuan ini!!! gumamku kesal. Aku hanya bisa memukul-mukul kepalaku berharap kenangan itu bisa segera lenyap dari otakku.
Waktuku hanya tersisa 26 jam mengenang Husna. Setelah melangsungkan akad nikah, tak pantas rasanya aku memikirkan perempuan lain selain istriku. 4 tahun lamanya aku mengenal Husna, sekarang hanya ada 26 jam waktuku untuk melupakannya. Sama sekali waktu yang tak sebanding. Tapi, aku harus bisa melupakannya.
“Assalamualaikum.”
Di tengah indah hayalanku, tiba-tiba Meisandy datang mengganggu. Malas rasanya beranjak dari tempat tidurku. Ingat dia sebentar lagi jadi istriku, terpaksa aku datang menyambutnya. “Waalaikumsalam.”
“Nanti malam Rahman sibuk?” tanyanya.
“Tidak. Ada apa?”
“Aku mau Abdurrahman menemaniku membeli sesuatu untuk besok. Tapi kalau Rahman tidak bisa, biar Mei sendiri yang beli.”
“Oh… bisa… bisa…”
“Terimakasih.”
Malam tiba. Aku memenuhi janjiku pada Meisandy untuk menemaninya membeli sesuatu. Sepanjang jalan kami hanya mengobrol. Merancang masa depan yang akan kami jalani nantinya. Di tengah serunya obrolan, aku membuat kesalahan fatal yang menyinggung perasaannya. Aku salah menyebutkan nama. Konsentrasiku buyar karena saat itu aku juga sedang memikirkan Husna.
“Apa Rahman masih memikirkan perempuan itu?” tanyanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku berusaha menenangkan pikiran agar tak salah bicara untuk yang kedua kali.
Kami mampir ke suatu tempat untuk membicarakan hal ini lebih serius.
“Benar, Rahman masih memikirkan perempuan itu?” tanyanya kembali seolah mendesakku.
Sepertinya aku tak bisa lagi berlama-lama menyembunyikan perasaan yang ada di hatiku sekarang. Alangkah baiknya jika Meisandy tau semua yang ada di hati dan pikiranku, ucapku dalam hati. pelan-pelan aku mendekatinya. “4 tahun yang lalu, aku adalah seorang lelaki yang berperangai buruk. Membangkang pada ayah. Lupa akan kewajibanku sebagai seorang muslim. Hina sekali hidupku!!! Aku membiarkan diriku terjerumus dalam mega dunia. Mataku jadi buta, kulakukan semua yang tidak sepantasnya aku lakukan.”
Meisandy hanya menatapku seolah penasaran mendengar cerita dariku.
“Tiba-tiba datang seorang bidadari yang kulihat dari balik jendela kamar. Seorang bidadari yang sebenarnya tak pernah terbayangkan olehku kedatangannya.”
“Pelan-pelan dia bersihkan noda hitam yang melekat di hatiku. Tanpa kutau diam-diam dia menyelinap masuk dalam hatiku. Aku tak bisa menghindarinya, aku jatuh cinta padanya. Tapi Ayah tak menyukainya. Ayah berprasangka buruk padanya. Ayah menganggap kehadirannya hanya membawa pengaruh buruk untukku. Ayah tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan ini semua. Ayah malah membenciku. Tapi bidadariku itu tak pernah menyerah untuk menyelamatkanku. Dia terus hadir menemaniku. Dia menjagaku dari nafsuku akan dunia. Dia terus hadir menyelamatkanku dari sadisnya duniaku. Dia datang dan melarangku melihat perempuan yang berkeliaran di sekitarku, dia datang dan melarangku menyentuh perempuan yang ada di sekelilingku. Tapi satu kesalahan fatal yang dilakukannya, dia tak melarangku untuk mencintainya,” ujarku lagi pada Meisandy, “Malam itu Ibu menemuiku dalam mimpi. Ibu datang dan memarahiku karena prilaku burukku. Dan yang paling menakutkan dalam mimpi itu, Ibu bilang tak lama lagi akan menjemput Ayah. Aku tak ingin kehilangannya. Akan kulakukan segala yang bisa kulakukan agar bisa menyenangkan hatinya. Lalu, Ayah memintaku untuk menikahimu. Aku tak bisa menolaknya, apalagi saat itu Husna telah meninggalkanku.”
Meisandy tetap saja tidak bereaksi. Dia hanya menunggu aku melanjutkan cerita.
“Setelah mimpi yang kualami itu. Aku benar-benar memperbaiki diriku. Dan itu semua atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari bidadariku lagi. Tapi sayang, ada satu hal yang tak bisa kuhentikan, dosa besar yang tak dapat kuhindarkan. Dan aku melakukannya bersama bidadariku itu,” ujarku.
Meisandy kaget. Sepertinya dia salah paham dengan kata yang terakhir kuucapkan.
“Maksud Rahman? Kalian telah melakukannya? Kalian telah…?” tanyanya kaget.
“Bukan… bukan itu yang kumaksud,” tepisku buru-buru sebelum Meisandy berpikiran lebih jauh lagi, “Dosa besar yang ku lakukan adalah berbohong pada Ayah. Dengan lancang aku menghianatinya, aku ingkar pada janji yang telah kusepakati dengannya.”
“Ayah memintaku untuk menjauhi Husna, tapi aku tidak melakukannya. Kami berdua tidak melakukannya. Malah kami menentang keinginan Ayah. Kami memperkuat rasa cinta yang kami miliki, bukan menghindari seperti yang Ayah inginkan,” jelasku lagi.
“Harusnya sejak awal, aku tidak mengharapkanmu mencintaiku. Sakit sekali rasanya mendengar ini. Tak seharusnya aku ada di antara kalian. Mengapa Rahman tega membiarkanku melangkah sejauh ini?” ujarnya lirih bertanya padaku.
“Ayah memaksaku untuk melakukannya, Ayah memaksaku untuk mencintaimu. Aku tidak bisa menolak. Aku takut terjadi sesuatu padanya jika berani terang-terangan menolak keinginannya,” jawabku, “Tapi lama kelamaan aku juga mulai nyaman dengan keterpaksaan yang kurasakan. Aku mulai terbiasa dengan kehadiran Meisandy. Berbohong, jika aku bilang tidak mencintai Meisandy sekarang,” lanjutku.
Meisandy tidak mengatakan apapun padaku. Hanya saja, airmatanya membuatku mengerti apa yang di rasakannya sekarang.
Tinggal 10 jam waktuku yang tersisa untuk mengenang kisah manis yang kualami bersama Husna. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindar dari pernikahan besok. Sebentar lagi Husna akan benar-benar kuhapus dari hidupku. Sulit rasanya malam ini untuk memejamkan mata. Aku berharap saatku tertidur, tak ada seorang pun yang membangunkanku. Tak ingin rasanya kubuka mata ini. Sepertinya sekarang hidupku telah berakhir.
“Rahman!”
Seseorang membangunkanku di pagi buta. Suaranya tak asing di pendengaranku. pelan-pelan kubuka mata, memastikan pemilik suara itu adalah seseorang yang kukenal.
“Rahman!”
Lagi orang itu memanggil namaku. Wajahnya tampak samar-samar di penglihatanku. “Husna?” tanyaku memastikan, “Apa ini mimpi?” lanjutku, memukul kedua pipi.
“Ini aku! Husna,” Jawabnya.
“Bukan… ini mimpi!!! Iya… ini mimpi!!!” ujarku tak percaya.
“Ini nyata…! Ini aku, Husna. Orang yang kamu tunggu.”
Bagaimana mungkin Husna bisa masuk kamarku. Tak mungkin Ayah tidak bereaksi melihat Husna nyelonong masuk. Ada apa dengan Ayah pagi ini? atau jangan-jangan, karena hari ini aku akan menikah. Jadi, Ayah memberi kesempatan pada Husna untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya, pikirku.
“Apa Ayah melihatmu?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya, “Tadi malam Ayahmu memintaku untuk menemuimu.”
“Apa? Ayah mencarimu? Apa dia menyakitimu?” tanyaku penasaran.
“Ayahmu hanya memintaku untuk menemuimu. Setelah itu dia pergi.”
“Apa Meisandy tau tentang ini?”
“Ayahmu datang bersama Meisandy.”
“Apa yang terjadi? Apa Meisandy melakukan sesuatu padamu? Apa dia membuatmu…?”
“Aku tak tahu harus melakukan apa pada meisandy yang sudah lancang merebutmu dariku. Harusnya aku membencinya sekarang!!! Harusnya aku membalas kesakit hatianku padanya. Tapi tidak!!! Aku tak bisa melakukannya,” ujarnya memotong omonganku, “Harusnya sekarang aku menemuinya, dan berterimakasih. Dia orang bodoh yang pernah kukenal!!! Beraninya dia menangis dan bersujud di hadapan ayahmu. teganya dia memohon pada ayahmu, agar mengizinkannya melepasmu. Tega sekali dia melakukannya!!! Dia telah mengorbankan kebahagiaannya. Semua itu dilakukannya untukku.”
“sekarang apa salah jika aku ingin memeluknya?” lanjutnya sambil menangis.
“Jadi sekarang Meisandy?”
“2 jam lagi akad nikah akan dimulai. Meisandy menunggu kita diluar. Dia ingin kita melakukannya,” sahutnya kemudian melangkah keluar dari kamarku.
Akhirnya, Husna jadi istriku. Setelah Meisandy menjelaskan semua yang terjadi pada Ayah.
Dan akhirnya, mimpi terbesar dalam hidupku terwujud sudah. Senang rasanya, Tuhan telah mengabulkan do’a yang kupanjatkan di setiap tahajudku. Menyelamatkanku dari zina dan melengkapi rusukku dengan kehadiran Husna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar