Senin, 04 November 2013



Semanis Kasih, Semanis Gethukmu Eyang…
Lastri baru saja mengambil kotak Gethuknya di kantin sekolah. Dia bergegas menuju tempat parkir, hari ini dia dan kelompok belajarnya akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Maya, teman sekelasnya sekaligus sahabatnya. Siang ini, Sunter benar-benar di buai surya, Lestari yang membonceng di belakang Rangga, berulang kali mengusap keringatnya.
Setibanya di sana, Lastri bersama keempat sahabatnya bergegas menuju balkon rumah Maya yang begitu teduh karena ditumbuhi perdu dan bunga-bunga. Maya segera menyiapkan sekian hidangan di atas meja, jus Jeruk, Kacang asin dan roti bakar mentereng setelah mbok Surti menuntaskan tugas dari Maya, si tuan rumah, ehem maksudnya nona rumah.
Lastri, Maya, Doni, Rangga dan Haikal, segera menuntaskan tugasnya. Lastri dan kelompok belajarnya mendapatkan tugas membuat Mabok alias majalah tembok dari ibu Nawang, wali kelasnya. Karena lusa, kelasnya mendapatkan jadwal cipta karya, dimana masing-masing kelompok belajar wajib memampang karyanya.
Lastri mendapat tugas karya sastra, seperti cerpen, puisi dan esai. Doni bertugas membuat tajuk rencana serta meliput kegiatan di sekitar sekolah atau yang biasa disebut dengan reportase, Rangga bertugas mengekspos dunia IPTEK, sementara Haikal dan Maya diizinkan menari-narikan kuas dan cat airnya. Semua menikmati tugas masing-masing.
“Hmmm, coba deh kalian bayangin kalau Markus horizon dan Bambang Pamungkas menjadi pemain basket, kalo nggak penari balet deh, pasti lucu kan?” cetus Haikal tiba-tiba.
“Iiih, lebay ah,“dengus Maya malas. Yaa, Maya Tunjung Aji memang lebih sering mementingkan asanya, tidak jarang pula Maya mengabaikan perasaan keempat sahabatnya, oops, maksudnya kelima sahabatnya, bersama Nadina yang tidak hadir saat itu.
“Nggak juga kok May, boleh juga tuh idenya, kira-kira judul yang pas apa ya buat karikatur itu?”
“Spontan uhuuy” jawab Rangga meniru Komeng.
“Aah, udah basi, gimana kalo miss understand” Doni menambahkan.
“Iya tuh, Doni bagus juga usulnya” Rangga setuju.
“Menurut loe gimana May?”
“No coment ah, nggak seru”
“Mmm, gimana kalau knowledge kacau, konsepnya kita bikin lebih unik, misalnya ada anak kecil yang ditanya oleh temannya tentang Bambang Pamungkas dan Markus Horizon, terus spontan mereka membayangkan kalau mereka adalah seorang pemain basket sama penari balet” papar Lastri.
“Mmm, bagus juga sih, tapi kalau anak kecil sih wajar kalau mereka nggak tau, tapi kalau anak SMP atau remaja sampai nggak tau figure mereka, nah itu baru knowledge kacau, ya kan?” cetus Haikal penuh yakin.
Maya hanya terdiam melihat keempat anggota kelompoknya, dia sedang memikirkan sesuatu. Tentunya untuk menghibur dirinya yang kesepian. Ayahnya seorang pembisnis ulung di bidang developer, sementara ibunya bertindak sebagai tangan kanan ayahnya, itulah sebabnya ibu Maya lebih sering menemani ayahnya untuk sekedar rapat direksi maupun melakukan riset desain serta urusan pendanaan di perusahaannya. Sementara bersahabat dengan Lastri dan kawanannya adalah sebuah pelarian, setidaknya Maya yang baru satu semester berada di sekolahnya saat ini, sudah mempunyai teman di kelasnya, dan Lastri yang dikenal sebagai ibu dari kelompoknya karena usianya yang selang 2 tahun itu, setidaknya dia mau mengajari PR-nya, sayangnya baginya bersama Lastri dan kawanannya merupakan sebuah simalakama, meskipun tersirat kebanggaan dalam hatinya, karena setidaknya dialah yang terkaya di antara kelima kawanannya itu.
“Loe kenapa May?” tanya Lastri,
“Ng… nggak kenapa-napa kok, cuma lagi mikir aja, Sunter hari ini panas banget. Soo, kalian mendingan minum dulu deh, pasti haus kan?”. Jawabnya mengeles.
“Iya juga sih, minum ah”, lanjut Doni diikuti seluruhnya.
“Oh iya, ini orange juice asli dari Holand lho, oleh-oleh dari om Romy saat liburan ke Holand.”
Oo… bukan Maya namanya jika tidak mencetuskan merek maupun asal-usul semua barang yang dimilikinya, seperti…
“Eh, ini tas dan dompet Louis Voittion yang kemaren mama beli langsung dari gerainya di Paris lho, bagus kan?”
“Eh, ini jam tangan Pathek Philips punya omaku, harganya hampir sama dengan harga satu rumah, bahkan dua apartement di Mangga Dua Square, karena terbuat dari butiran diamond, swaroski dan emas yang dipahat langsung oleh tangan dingin penjualnya usia jamnya mampu bla… bla… bla.”
Oh Maya, dia memang berbakat menjadi pemeran iklan, soalnya tanpa disuruh pun, Maya akan dengan senang hati memproklamasikan fitur barang-barangnya.
“Mmm, pantes seger banget”, hibur Lastri.
“Harganya pasti mahal ya May?”, imbuh Rangga.
“Mmm, nggak tau juga sih, tapi kayaknya sih cukup mahal.”
“Oh iya, ayah sama ibu kamu kok sepi May?”
“Ooh, ya gitu deh, bonyok lagi ada riset di New York.”
“Pantes sepi, loe pasti udah terbiasa ditinggal ya May?”
“Ya gitu deh, resiko seorang anak pembisnis sekaligus resiko orang…”
“Kaya…!!!” seru keempat sahabatnya kompak seperti biasa.
Lastri dan kelompoknya kembali menyelesaikan tugas masing-masing. Di izinkannya pulpen dan kuas yang menari di atas kertas dan sterefom sebagai medianya.
“Yes, I’m Finish…”
“Yuhuu… akhirnya kelar juga nih”
“Asik gue juga kelar nih.”
“Siip deh, semoga kita bisa menang dalam edisi minggu ini, oh iya Las, minggu ini jadwalnya kelompok belajar mana aja sih?”
“Mmm, kelompok kita, kelompok Sakura, teruuus, kelompok Samudra”
“Lumayan juga ya saingan kita, optimis nggak ya?”
“Optimis donk Don, pasti bisa.”
“Mmm, tapi gue nggak yakin Las, kelompok Sakura kan udah jadi winner berturut-turut”
“Soo what May? selama kita berusaha, pasti ada jalan kok, yaa… walaupun semisal nantinya gak juara, paling nggak kita udah berusaha”
“Betul… betul… betul…” seru Doni, Rangga dan Haikal kompak.
Maya pun mengangkat kedua pundaknya dan hanya tersenyum kecut seperti biasa.
Lastri kembali ke parkiran sekolahnya untuk mengambil sepedanya yang beberapa jam sebelumnya dititipkan kepada pak Ahmad, penjaga sekolahnya.
“Loe gak mau dianter gue aja Las, biar nanti pak ahmad yang bawa sepeda loe, dia tetangga loe kan?”
“Nggak Rangga, ntar bisa-bisa eyang ngamuk lagi, liat gue pulang telat dianter cowok”
“Emang loe belum sms kalo kita mau belajar kelompok?”
“HP nenek baru aja di jual Ra, buat bayar tagihan listrik bulan kemaren.”
“Ooops, maaf ya Las, gue nggak bermaksud…”
“Biasa aja lagi kaya sama siapa” Lastri tersenyum.
“Ya udah deh, gue pulang duluan ya…”
“Siip…” jawab Lastri seraya mengacungkan jempolnya kepada Rangga.
Lastri mengayuh sepeda ontanya untuk kembali berkumpul dengan nenek tercintanya. sepeda tua yang di kayuhnya adalah sepeda nenek Ningsih yang masih setia dengan keantikanya. Sama antiknya seperti pemiliknya, yang begitu sumringah dan begitu semangat mengurus Lastri dan kakaknya, Dinar. Semenjak kedua orangtuanya wafat karena tertabrak truk saat hendak menyebrang jalan, 4 tahun yang lalu. Lastri begitu menyayangi neneknya, begitu juga dengan Dinar, keduanya telah menobatkan mahkota bergelar orang tua kepada neneknya.
Diketuknya pintu rumah yang beralaskan keramik putih, separuh dindingnya sudah kokoh dan separuhnya lagi terbuat dari kayu jati yang di vernish apik oleh almarhum ayahnya. Rumahnya memang tidak semewah rumah Maya, setidaknya setiap hujan mengguyur deras, Lastri, Dinar dan neneknya, harus siap siaga dengan tiga atau empat ember untuk menampung tetesan-tetesan air hujan di setiap ruangan di rumahnya. Meskipun demikian Lastri akan sangat damai bernaung di dalamnya, karena cintanya kepada neneknya, dan karena syukur yang menaungi hatinya. Seorang wanita separuh baya dengan segera membalas salam, membukakan pintu untuk Lastri. Dengan senyuman yang tersimpul khas milik neneknya.
“Dari mana aja kamu Lastri?”
“Iya eyang, Lastri minta maaf ya, tadi Lastri sama temen-temen abis kerja kelompok di rumah Maya.”
“Oh, ya sudah ndak masalah, yang penting kamu ndak kluyuran sliweran ndak jelas. Wis makan siang belum kamu nduk?” tutur nenek Ningsih dengan ciri khas jawanya.
“Sampun eyang…” Ledek Lastri kepada neneknya.
“Kamu bisa saja ngeledek eyang, memangnya kamu masih inget bahasa krama inggil yang diajarkan ibumu? kalau masih, ayo sebutkan satu per satu.”
“Masih donk eyang, gimana kalo eyang yang mulai”
“Ok, Kalau makan?”
“Dahar utawi ndahar”
“Pinter, kalau pergi ke warung?”
Lastri berfikir sejenak merasa dikerjai neneknya dengan kalimat yang cukup menguras memorinya.
“Aha, tindak teng wande, ya to eyang?”
“Betul, terus kalau mau masak nasi?”
Kali ini Lastri benar-benar menguras memorinya, karena sebelumnya ibunya benar-benar singkat mengajarinya. Beruntung memori Lastri cukup bersahabat.
“Tau eyang, kulo badhe masak sekul” Nenek Lastri menyimpulkan senyum melihat logat cucunya.
“Nah, sekarang kalau aku mau mandi?”
Kalau ini Lastri tidak begitu kesulitan karena kakaknya hampir setiap hari menggunakan dialek ini sembari mengambil handuk.
“Aah, itu Lastri juga tau, kulo badhe siram, iya to eyang?”
“Betul, betul, betul”. Ledek nenek Ningsih menirukan sebuah peran salah satu kartun di chanel swasta.
“Nah, sekarang kamu mandi, terus ke warung beli beras, terus masak nasi!”
“Siap eyang, oh iya eyang, ini uang hasil jualan Gethuk hari ini, seperti biasa eyang, laris manis nasi tiwul” tutur Lastri seraya menyodorkan wadah Gethuknya dan uang hasil jualannya di kantin sekolah.
“Alhamdulilah ya nduk, ya sudah cepat sana mandi, sebelum kakakmu pulang”, imbuh nenek Ningsih mengingatkan Lastri akan kakaknya yang bisa berjam-jam berkontes ria di kamar mandi, dengan siulan dan deringannya yang fals menyanyikan lagu om Iwan Fals.
“Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, disana di gedung DPR, saudara di pilih bukan di lotre, meski kami tak tau siapa saudara, kami tak sudi memilih para juara, juara diam, juara he eh, juara ha ha ha”
“Cepatlah besar matahariku, menangis yang keras jangan lah ragu, tinjulah congkaknya dunia buah hatiku, doa kami di nadimu”, salah satu lirik yang sering Dinar lantunkan, membuat Lastri terenyuh jika teringat kedua orang tuanya, lebih tepatnya almarhum ayahnya yang gemar menyanyikan lagu yang sama.
“Eh, nak Lastri beli beras ya?”
“Iya pak, Lima liter aja ya pak”
“Gimana kabar nenekmu, sehat?” Lastri mengangguk pelan,
“Oh iya, sampaikan sama nenekmu, besok suruh ke warung ya, sampaikan juga ini penting dan wajib!”
Hidangan makan malam, tertata rapi dan begitu menggoda di meja makan. Tumis Kangkung, sambal Terong dan Tempe goreng menjadi menu lezat yang melambai-lambaikan aromanya. Nenek Ningsih, Lastri dan Dinar, menyantapnya usai bermunajat bersama. Kecerahan yang berseri-seri sebagai rasa syukur atas nikmat Tuhan di hari ini. Setelah membereskan meja makan, Lastri menyampaikan pesan pak. Bagyo, nenek Ningsih hanya menghela nafasnya.
“Eyang kenapa?, ada masalah sama pak. Bagyo?”
“Nggak cu, kamu tenang aja. Sudah belajar sana, habis itu kamu cepat tidur, besok sekolah kan?” Lastri yang keras kepala tidak berhenti mendesak neneknya, nenek Ningsih yang sebelumya tidak mau bercerita kepada Lastri terpaksa menceritakan bebannya.
“Kamu, pasti sudah tau Lastri, pak. Bagyo sampai saat ini belum melunaskan utang eyang.”
“Oh, jadi selama ini cicilan eyang yang per Rp 20.000 itu tidak dianggap sama pak. Bagyo?!”, Dinar tiba-tiba muncul dari kamarnya, seraya menggeramkan pandangannya pada sosok seorang pak. Bagyo yang terkenal sebagai juragan di mata masyarakat sekitar. Lima bulan yang lalu nenek Ningsih terpaksa berhutang kepada pak. Bagyo, saat tidak punya uang untuk melunasi SPP Lastri. Karena tidak ingin merepotkan kedua cucunya, beliau terpaksa membungkam aksinya. Menurut nenek Ningsih, hutangnya sudah lunas karena sudah dicicil per Rp 20.000 selama lima bulan. Tetapi untuk pak Bagyo, selama belum membayar bulat hutangnya, maka setempel berlogo lunas tidak akan dicetuskannya.
“Biar Dinar yang urus, besok sore Dinar gajian, eyang gak usah mikirin lintah darat itu” tegas Dinar geram.
Malam ini Lastri begitu sulit memejamkan matanya, dia merasa bersalah kepada neneknya yang terpaksa berhutang kepada pak. Bagyo dan rela menjadi bahan hinaanya demi membayar uang SPPnya. Warih romannya menetes perlahan. Lastri teringat cita-citanya untuk berkuliah, tetapi sepertinya saat ini cita-citanya bagaikan equator nestapa.
Seperti biasa sebelum Subuh Lastri sudah sibuk membantu neneknya di dapur, mangaduk adonan Gethuk sampai lembut, kemudian mengukusnya di panci. Setelah matang dibiarkan sedikit mendingin kemudian dibungkus, selang beberapa menit, Gethuknya tertata rapi dalam masing-masing wadahnya. Di samping kamar mandi tempat Lastri biasa mencuci sandangan keluarganya, Lastri telah merampungkan tugasnya.
Lastri dan Dinar mencium tangan neneknya. Seperti biasa Dinar membonceng sampai di pangkalan angkot di pinggir jalan raya, selanjutnya Lastri mengayuh sendiri sampai di tempat parkiran sekolahnya. Pemandangan pagi yang sudah biasa, dimana setiap sudut memandangnya hina, penuh miris dan melas, Lastri pun lebih kuat bersamanya, setidaknya rasa cintanya kepada sang neneklah yang tidak mampu melunturkan niatnya untuk tetap menggunakan sepeda tua milik neneknya. Lastri berjalan menyusuri koridor di sekolahnya, sosok seorang sahabatnya melambaikan tangannya di depan pintu kelasnya. Lastri membalas lambaiannya. Ia pun mempercepat langkahnya, dijumpainya Nadina, dengan kabar yang menambah kesejukan pagi, karena sekolahnya kembali menjadi juara umum lomba sendra tari Nusantara.
Bel istirahat berdering sesukanya, meneriakkan setitik kegembiraan bagi seluruh penghuni SMA Bakti Negeri. Lastri dan Doni menemui kawanannya setelah merampungkan rapat OSIS di aula sekolah. Keduanya membawa sekuntum Asoka untuk kelompok belajarnya. Iya benar, Mabok mahakarya Lastri dan para sahabatnya menepati posisi pertama untuk minggu ini, Asoka pun semerbak mewangi.
Lastri merampungkan kisahnya semalam, tentang rasa bersalahnya kepada nenek tercintanya, tentang mimpinya yang masih tergantung indah dan merayu langkahnya, kepada Nadina yang lebih bisa mengerti keadaannya, setidaknya bersama Nadina, Lastri tidak segan untuk menjatuhkan warihnya.
Nadina benar-benar tahu, Lastri tidak akan mau menerima bantuan materinya, sementara Lastri menemui ibu Nawang untuk menerima hadiah untuk kelompoknya, Nadina berlari mencari kawanannya, tepat di sebuah taman di dekat Mushola Nadina menjumpai Rangga, Doni, Haikal dan Maya. Diceritakannya sebuah empedu yang tengah dikecap oleh Lastri. Maya yang sedari tadi menarikan jemarinya, merasa sedikit terganggu karena Nadina melambaikan niatnya untuk meminjam laptopnya. Nadina menjuruskan sekian harapan, dibukanya setiap kata kunci lomba kepenulisan, dan ahhaa…, dia menemukanya. Sebuah kunci untuk sahabatnya. Lastri.
Senja meluruhkan senyum seorang Lastri, pak Bagyo yang kalap, mamaki neneknya sejadi-jadinya. Tangisannya meluap bersama bencinya kepada seorang pak Bagyo. Seorang Dinar yang baru saja merampungkan perjalanannya menuju istananya, langkahnya terhenti sesaat, ketika menyaksikan seorang adik dan neneknya terkapar pasrah di lantai keramiknya. Sesak menyendat nafasnya, ditariknya kerah sang juragan yang arogan, ditatapnya dalam-dalam penuh kebengisan. Dilemparkanya dua lembar seratus ribuan, dilemparkannya tubuh yang tercekam penuh geraman seorang Dinar, terukir dengan jelas tetesan airmata, melukiskan sebuah bakti yang tiada rela tercoreng.
“Dasar juragan brengsek…!!!, enyahlah loe dari muka gue, makan duit haram ini, gue bayar dua kali lipat, biar loe puaaas!!! makan!!!, puas-puaskanlah bekalmu menuju neraka, juragan tak bermoral…!!!, pergi loe, pergiiii…!!! fu*k!!!”
Sejenak Kediaman seorang nenek Ningsih dipenuhi sekian tetangganya yang merasa terusik, ada yang menatap bengis kepada seorang juragan yang tercekam dan terlempar pekat di atas tanah. Ada yang memandang melas Lastri dan neneknya yang masih sesenggukan di bale rumahnya, ooh Tuhan, ringankanlah perih atas peluh kedua mahkluk baikMu itu.
Lastri masih mencucurkan air matanya, sulit baginya melupakan rasa perih di hati neneknya, nenek Ningsih pun masih terpaku dengan munajatnya, sementara Dinar tediam erat menatap sebuah potret dirinya bersama Lastri, kedua orangtuanya, sepasang leluhur yang diapit keduanya. Nenek Ningsih dan kakek Sameja. Sebuah ponsel Nokia 3315 berdering penuh semangat, Lastri membuka pesan dari Nadina.
“Lastri, lw msh p9n kuliah kn?lw msh p9n bhgiain nnek lw kn?lw msh p9n beliin aba9 loe mtor kn? sbuah kunci udh gw tmuin, ad lmba nlis nih..temanya tt9 prjua9n,wktu’y tinggal 4 hr lg,lw yg sm9t nlis y,biar bs jwra 1+jd dta pena IND.good luck, oia, hri snin gw t9gu d kls. Sm9t shbtq.” Sejenak Lastri pun merasakan setitik embun membelai hatinya, dicarinya pena dan sekian lembar kertas, Lastri membiarkannya menari bersama isi hatinya.
Mentari bernaung dalam kelembutan stratus dan cirrus yang mengukir awan pagi. Lastri yang masih sibuk menarikan penanya, mengusik perhatian neneknya.
“Lastri, lagi ngapain kamu nduk?”
“Mmm, lagi bikin cerpen eyang,” jawab Lastri yang terus menggoreskan tintanya.
“Cerpen? jadi semalaman kamu begadang bukan untuk belajar?!!” suara nenek Ningsih sedikit meninggi, Lastri merasa telah membuat sebuah kesalahan, dengan pelan ia mengangguk.
“Lastri, setiap hari eyang rela menahan lelah berkeliling komplek untuk sekedar membiyayai sekolahmu, seharusnya kamu tahu impian eyang nduk, seminggu lagi kamu ujian, kamu tidak ingin nenek kecewa karena nilai ujianmu jatuh kan? Kemarikan kertas-kertas itu nduk!”, Lastri hanya bisa terpaku pasrah, melihat neneknya mengambil buah karyanya. Simalakama kembali menderanya.
Lastri menangis lirih dibalik selimutnya, dia dilanda gundah yang luar biasa. Sayangnya ambisinya lebih kuat mendorongnya. Lastri memberanikan dirinya untuk mengambil buah penanya di kamar neneknya. Dilihatnya nenek Ningsih yang terlelap dibalik selimutnya. Lastri pun seperti ingin meneriakan sebuah kemerdekan. Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang menyentuh pundaknya, oo, ternyata keberuntungan belum berpihak padanya, dan…
“Plak!!!”, disadari atau tidak, sebuah tamparan melukai pipinya. Dari seorang kakak yang sejak tadi menjadi saksi ketegasan neneknya. Lastri pun hanya mampu tertunduk lesu, detak jantungnya bagaikan terhenti sejenak.
“Kemaren, kita sudah cukup menderita, hari ini, kamu masih ingin membuat kami menderita?!” Dinar menatapnya tajam, Lastri hanya mampu terisak, seraya memegangi pipi kanannya, ucapan kakaknya benar-benar menorehkan sebuah penyesalan, seperti semua yang terjadi adalah karenanya. Ooh, Lastri, tabahkan hatimu.
Senin telah tiba, sepulang sekolah Lastri dan Nadina menuju rumah Maya, untuk meminjam laptopnya, Nadina yang mampu mengetik dengan sebelas jarinya, mempercepat tercetusnya karya seorang Lastri Arum Aji. Nadina yang sejak pagi menunggu janji Lastri untuk bercerita, terpaksa menagih janjinya. Lastri pun menceritakan seruntutnya bersama Nadina dan Maya. Nadina meneteskan air matanya, separuh tubuh Lastri dipeluknya. Maya yang membisu, tiba-tiba angkat bicara.
“Lagian ngapain juga utang ke rentenir, wajarlah kalo bunganya tinggi, apalagi sampe maki-maki nenek loe. Nenek loe juga sih, udah tau nggak bisa bayar, ngapain juga ngutang-ngutang, huuuh, cari penyakit itu namanya!” dengus Maya. Entah setan dari perfilman mana yang menuntun alur bicaranya. Lastri yang merasa terhina, cepat-cepat beranjak dan…
“Plaak…!!!”, sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri milik Maya.
“Loe mungkin nggak pernah sedikit saja mengecap kesengsaraan May!!!, Loe juga mungkin nggak pernah seharian menahan lapar, loe juga nggak pernah merasakan keringat untuk sekedar membeli nasi bungkus basi!!!. Nenek gue memang bukan seorang pengusaha yang berlimpah harta seperti nenek loe May, sejak kecil bahkan dia nggak mampu beliin gue mainan. Sementara nenek loe, dengan mudahnya membeli boneka Barbie dari Mattel Amerika.”
“Loe mungkin boleh menghina gue sepuas dengkul loe May!!!, tapi tidak untuk nenek gue, meskipun dia hanya sorang penjual Gethuk keliling!!!, berapapun harga dunia, mungkin bisa loe beli May, tapi tidak untuk harga diri nenek gue!!!”. Belum sempat Lastri beranjak, Ny. Nilam yang baru saja tiba di balkon kamar Maya, menarik tangannya,
“Berani sekali kamu memaki-maki cucu saya!!!, punya status apa nenekmu sampai kamu begitu gagahnya menghina cucu saya!!! siapa nama nenekmu, akan saya cek di buku daftar orang-orang keturunan ningrat di Indonesia, jangan lancang kamu ya!!!.”
“Nenek saya bukanlah keturunan ningrat di Indonesia, tapi dia adalah seorang ningrat di surga, catat saja Ningsih Sekar Aji, penjual Gethuk keliling!” entah apa yang terjadi, guncangan hebat seperti menahan amarah seorang Ny. Nilam. Lastri yang masih terisak beranjak bersama Nadina. Sesampainya di rumah, Lastri masih menyimpulkan senyum untuk kedua kekasihnya, meskipun yang didapatkannya hanyalah sebuah kebisuan.
Ujian Nasional hadir begitu cepat, Lastri begitu gigih belajar, neneknya yang sudah mulai tersenyum untuknya, menambah kekuatan hati yang begitu kokoh. Sampai tiba saat pengumuman, Lastri mampu mengukirkan air mata kebahagiaan untuk neneknya. Dia mampu berada di peringkat pertama di sekolahnya. Pagi yang begitu sejuk, Lastri mengayuh sepedanya penuh semangat, sebelumnya dia mengingatkan nenek dan kakaknya untuk benar-benar hadir menjadi walinya. Sesampainya di sekolahan, nenek Ningsih begitu khawatir karena Lastri belum juga muncul, sampai acara hampir berakhir, pak Waluyo kepala sekolah SMA Bakti Negeri menayangkan sebuah acara televisi. Seluruh hadirin menyaksikanya, dan…
Lastri bersama Nadina, dan juga ibu Nawang ada pada acara televisi itu, tidak hanya Rangga, Doni dan Haikal yang terkejut tetapi juga nenek Ningsih, Dinar, Maya dan juga Ny. Nilam. Pada acara televisi itu, terlihat Lastri berurai air mata, tengah memegang sebuah piala besar dan Nadina yang membantu membawakan sebuah papan berukuran 30 x 75 cm, yang menorehkan sebuah nominal sebesar Rp 100.000.000. Saat seorang pembawa acara bertanya padanya,
“Lastri, tahun ini anda berhasil meraih gelar Duta Pena Indonesia, pastinya bangga bukan, adakah seseorang yang anda dedikasikan khusus, ehm, pacar mungkin?”, ledek si presenter itu, dengan isaknya Lastri menjawab,
“Ini semua aku persembahkan untuk eyangku tercinta, nenek Ningsih Sekar Aji. Terimakasih eyang, Lastri sayang eyang,” Air matapun jatuh terurai, pada sebuah pipi yang mengeriput, pipi seorang nenek Ningsih.
Lastri tiba di sekolah, matanya masih menorehkan kebahagiaan, nenek Ningsih yang ditatih oleh Dinar, berjalan menemui Lastri dan memeluknya erat-erat.
“Ooh Wulan, Karyo, lihatlah anakmu yang hebat ini,”
Dari balik pintu, Ny. Nilam muncul bersama Maya, dituntunnya perlahan, didekatkannya kepada Lastri, dia pun memeluknya penuh kerinduan. Lastri yang masih belum mengerti, melepas pelukan Ny. Nilam, menjauh mendekati nenek Ningsih dan Dinar.
“Lastri, dia juga eyangmu nduk, dialah ibu kandung ibumu,” tutur nenek Ningsih lembut, seraya menuturkan sebuah rahasia yang terkubur waktu, bahwa Ny. Nilam adalah adik kandung nenek Ningsih, yang pada masanya mengalami pergaulan yang fatal, sehingga kelahiran seorang Wulan menjadi aib baginya, kakek buyut Lastri mengusirnya. Sementara Nilam muda yang hidup terlunta-lunta di jalanan, terpaksa menitipkan anaknya kepada Ningsih, dan setelahnya dia menghilang tanpa jejak. Lastri masih membisu, dia memasrahkan tubuhnya dipeluk oleh Ny. Nilam, di depannya, terlihat Maya menyodorkan jari kelingkingnya,
“Kita saudara, saat ini kamulah kakakku, jadi, kamu mau maafin aku kan?” setitik warih mendayu di pipi seorang Maya, dan Lastri, meraih jari kelingking Maya dengan jari kelingkingnya. Sementara di sudut ruangan, Nadina, Doni, Rangga dan Haikal tersenyum dengan buruknya, terlihat berbagai aksi mereka lakukan untuk menipu keharuannya, ehm, tetapi sekian tisu yang berceceran, cukup menjadi saksi bahwa merekapun turut bahagia. Ooh Tuhan, terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar