Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali
terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil
seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali
juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
MASA PRASEJARAH
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal
tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk
menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan
pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya
Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya
bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa
prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali
pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard
Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer.
Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J.
Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang
pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan
beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura
Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh
K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara
Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren
dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada
tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan
penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974,
1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk
Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah
perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini
sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali,
kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali
dapat dibagi menjadi :
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Masa bercocok tanam
Masa perundagian
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan
di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara
Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam,
kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di
kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu,
Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya
tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu
tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah
daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok
kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum
laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk
menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas
untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan
dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur
satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi
bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya
dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari
Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat
batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus
erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru
dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau
keturunannya.
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu,
tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada
masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding,
Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung
Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang
Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang
pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan
alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah
alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa
lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya
diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan
pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di
Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua,
yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat
pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding
karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung,
manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa
lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah
lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin
mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh
nenek moyang atau kepala suku.
MASA BERCOCOK TANAM
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin
dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam
sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini
beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi
menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya
sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta
meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa
kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang
pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek
moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita
kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini
mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari
dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di
bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui
jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara
kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa
Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan
perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu
kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara
khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini.
Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar
menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat
berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa
Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan
sebagai bahasa Austronesia.
MASA PERUNDAGIAN
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam
kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang
dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan
peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya
upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang
sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui
dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang
terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten),
Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan
kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan
penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah
menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan
muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok
yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam
masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi
penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang
pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang
dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya
ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti
ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan
ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat
hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan
lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan
juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan
Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina,
Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya
tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk
mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih
tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang
terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in
terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri
yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4
meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal
sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan.
Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang
dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata
17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya
dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu
berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu
kali.
Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan
megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di
desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran
Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin
wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai
lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar