Kamis, 29 November 2012

Hentikan Perdagangan Primata
Penulis : Iwan Setiyawan | Rabu, 4 Juli 2012 | 15:59 WIB


Kompas/Iwan Setiyawan
Aktivis ProFauna saat aksi protes di Kemenhut di Jakarta, Rabu (4/7/2012). Kompas/Iwan Setiyawan

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah aktivis ProFauna menggelar aksi protes atas maraknya perdagangan satwa liar jenis primata di depan Kementerian Kehutanan di Jakarta, Rabu (4/7/2012).
Aksi ini sebagai bentuk keprihatinan karena masih tingginya perdagangan primata dan daging primata di Indonesia. Dalam aksi tersebut, mereka menggelar meja yang di atasnya tersaji makanan layaknya jamuan makan dengan menu daging dan organ primata. Mereka juga menggelar spanduk besar menuntut dihentikannya perdagangan daging primata.
Laporan terbaru ProFauna dan International Primate Protection League (IPPL) menunjukkan, setiap bulan puluhan primata dibunuh untuk dikonsumsi daging dan otaknya. Jenis primata yang paling banyak dikonsumsi adalah monyet ekor panjang (Macaca facicularis). Kondisi ini ditemukan dari hasil penelusuran di Jakarta dan Palembang.
Selain dibunuh untuk dikonsumsi, primata juga diperdagangkan untuk satwa peliharaan. Jenis primata dilindungi yang banyak diperdagangkan antara lain kukang (Nycticebus sp) dan siamang (Hylobates syndactylus).
Hasil penelusuran ProFauna, di Palembang, perdagangan primata diduga terpusat di Pasar 16 Ilir. Beberapa primata yang diperdagangkan adalah kukang, siamang, kancil, lutung, monyet, dan jenis satwa lain seperti elang. Sebagian satwa yang diduga hasil tangkapan di hutan atau wilayah konservasi di Sumatera tersebut juga dikirim ke Jawa. Harga seekor kukang diperkirakan sekitar Rp 150.000.
Irma Hermawati, Koordinator ProFauna Jakarta, mengatakan, "Perdagangan primata baik hidup maupun bagian tubuhnya tidak bisa dibenarkan dari sudut aturan dan etika, apalagi primata yang diperdagangkan itu juga meliputi primata yang dilindungi undang-undang."
Minat masyarakat untuk mengonsumsi otak atau daging monyet diduga karena adanya kepercayaan bisa meningkatkan vitalitas. Padahal, menurut ProFauna, hal ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar